Miris rasanya mendengar perkataan Log Zhelebour, produser rock
legendaris, menanggapi kondisi suram bisnis musik tanah air tahun ini,
“Industri musik apalagi fisik (kaset atau cakram padat) sudah habis.
RBT (Ring Back Tone) podo ae (sama saja). Satu-satunya jalan ya
memperbanyak konser,” …diambil dari situs bisnis.com
Kejayaan RBT yang sempat menjadi pendapatan utama semua perusahaan
rekaman, redup sudah. RBT yang menyumbang hampir 90% sumber pemasukan
dalam sekejap mati suri, akibat terseret kasus pencurian pulsa sejak
2011 lalu.
Penjualan fisik CD album semakin tak bisa diandalkan, akibat
pembajakan yang merajalela mulai dari emperan toko hingga download
gratis di internet. Toko kaset satu persatu tutup, tinggal beberapa saja
yang bertahan. Sementara penjual CD bajakan semakin meluas, bahkan
mulai membuka lapak dimall-mall.
Potret suram ini jelas memukul para pelaku industri musik, utamanya
record label, yang sangat berpangku tangan terhadap penjualan CD dan
RBT. Bukan tidak mungkin perusahaan rekaman pun mengikuti jejak suram
toko-toko kaset. Menutup usaha musiknya.
Itu berarti akan menghambat setiap musisi merilis karya-karyanya. Itu
berarti akan semakin sedikit artis yang mampu bertahan. Dan itu berarti
tanda-tanda runtuhnya industri musik secara keseluruhan. Seperti yang
pernah terjadi pada dangdut, rock, nasyid dan musik daerah.
Era kaset berganti ke CD, lalu muncul RBT, disusul fulltrack. Dan
kesemuanya saat ini belum mampu menstabilkan roda ekonomi musik kita.
Lalu era apalagi kedepannya? Belum ada yang bisa memprediksi.
Satu-satunya jalan adalah kembali membenahi yang ada, yakni CD, RBT dan
Fulltrack. Dan atau kembali ke kaset.
Saya teringat dulu dipertengahan 90an, bisnis bioskop mengalami nasib
sama persis dengan musik saat ini. Budaya menonton di bioskop mulai
ditinggalkan, akibat maraknya sinetron dan booming VCD Player.
Orang-orang lebih suka membeli film bajakan dan menontonnya dirumah,
lebih murah dan praktis. Satu persatu pengusaha bioskop bangkrut.
Tinggal mereka yang mempunyai jaringan bioskop luas yang mampu bertahan.
Barulah diawal 2000-an kondisinya membaik. Saya melihat lagi orang
rela antre berjam-jam untuk menonton film Titanic di Cinema 21. Hal
serupa juga dialami film Ada Apa Dengan Cinta, film lokal yang menjadi
cikal bakal kembalinya industri perfilman Indonesia.
Ada yang menarik disini. Jika kita menganalisa, banyak faktor yang
menyebabkan orang mau lagi datang kebioskop. Salah satunya adalah soal harga tiket.
Saya ingat waktu itu harga tiket cuma 10 ribu, dari asalnya hampir
mendekati 20 ribu di tahun 90an. Dari pada beli bajakan, lebih baik ke
bioskop. Bedanya cuma 5 ribu perak, lebih puas pula.
Selain soal harga, 21 juga mulai membenahi infrastruktur. Mulai dari fasilitas
teknologi layar, sound, hingga letak keberadaan bioskop yang menyasar
ke mall-mall. Semua itu untuk memberi kenyamanan dan kemudahan bagi
konsumen.
Kembali pada industri musik, siklus bisnis yang dialami bioskop
sangat bisa terjadi dalam musik. Intinya, sebetulnya adalah tentang nilai lebih.
Apa yang dilakukan Cinema 21 adalah memberi konsumen nilai plus melalui
penurunan harga dan peningkatan fasilitas. Konsumen mendapat pengalaman
berbeda ketimbang nonton VCD player dirumah.
Jika CD ingin kembali menjadi primadona, pertanyaannya apa nilai
lebihnya, ketimbang CD bajakan 5 ribuan? Apa yang membuat orang bangga
membeli CD original?
Jika RBT ingin booming lagi, bersihkan dari persoalan pencurian
pulsa. Lalu kampanyekan lagi nilai prestise pengguna RBT, yang sempat
menjadi nilai lebih RBT tahun-tahun belakang. Kenapa prestise,
ya habis apa namanya selain itu? Wong RBT itu kan didenger orang lain.
Dia bayar 9 ribu per bulan, padahal dia sendiri tidak menikmatinya.
Terus buat apa dong ? Ya apalagi kalo selain untuk pencitraan dirinya.
Saya yakin jika CD dan RBT mampu memberikan nilai lebih
bagi pembelinya, roda ekonomi musik kita akan mulai membaik
perlahan-lahan. Kecuali jika ada teknologi baru yang menciptakan
pengalaman baru menikmati musik, itu adalah cara lain menghidupkan
kembali industri musik tanah air.
Sumber : http://adenlife.wordpress.com/2012/06/13/tips-hidupkan-lagi-industri-musik-indonesia/
No comments:
Post a Comment